ILMU ANTROPOLOGI DAN BEBAS NILAI

PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui logika penemuan yang didasarkan pada metodologi objektivisme yang ketat. Ide baru bisa saja muncul berupa kilatan intuisi atau refleksi religius, di mana netralitas ilmu pengetahuan kemudian rentan permasalahan di luar objeknya. Yaitu terikat dengan nilai subjektifitasnya seperti hal yang berbau mitologi. Dengan demikian netralitas ilmu semakin dipertanyakan.
Setiap buah pikiran manusia harus kembali pada aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Hal ini sangat penting bahwa setelah tahap ontologi dan epistimologi suatu ilmu dituntut pertanyaan yaitu tentang nilai kegunaan ilmu (aksiologi). Dari sudut epistemologi, sains (ilmu pengetahuan) terbagi dua, yaitu sains formal dan sains empirikal. Sains formal berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sains formal netral karena berada di dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum logika. Adapun sains empirical tidak netral. Sains empirikal merupakan wujud kongkret jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sains empirikal tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya. Pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Tetapi sebaliknya pada dasar ontologi dan aksiologi bahwa ilmuwan harus menilai antara yang baik dan buruk pada suatu objek, yang hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap.
Objek ilmu memiliki nilai intrinsik sementara di luar itu terdapat nilai-nilai lain yang mempengaruhinya. Objek tidak dapat menghindari nilai dari luar dirinya karena tidak akan dikenal sebagai ilmu pengetahuan apabila hanya berdiri sendiri dan sibuk dengan nilainya sendiri. Dengan kata lain ilmu bukan hanya untuk kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga untuk kepentingan lainnya, sehingga tidak dapat diabaikan kalau ilmu terikat dengan lainnya seperti nilai. Paradigmalah yang menentukan jenis eksperimen dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting dan manfaatnya. Ketidaknetralan ilmu disebabkan karena ilmuwan berhubungan dengan realitas bukan sebagai sesuatu yang telah ada tanpa interpretasi, melainkan dibangun oleh skema konseptual, ideologi, permainan bahasa, ataupun paradigma.
Hampir mayoritas antropolog akan berpendapat bahwa ilmu antropologi  menggunakan prinsip “value free” (bebas nilai) demi menjaga obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu atau teori. Unsur nilai yang memasukkan asumsi subyektivitas ke dalam kajian antropologi akan menyebabkan ketidakobyektifan sebuah gagasan. Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral).
Untuk memahami perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, kita sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas (kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki. Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Menurut Ignas Kleden, dalam pengertian pengetahuan yang praktis ini terkandung dua makna, yaitu persoalan nilai dan kepentingan yang akan menimbulkan perdebatan dan pernyataan apakah pengetahuan itu bebas nilai dan tanpa adanya kepentingan.
Kalau dalam makna pengetahuan yang bebas nilai, antropologi itu sekedar menjadi ilmu yang mendeskripsikan kenyataan obyektif, dan berputar pada persoalan teoritis. Tidak ada campur tangan seorang peneliti dalam kajian dan pengamatannya. Di sinilah kemudian ada cap yang teralamatkan pada pengetahuan dengan makna demikian sebagai pengetahuan yang tidak perlu memecahkan masalah karena jika sudah seperti itu maka persoalan nilai dan kepentingan pasti akan masuk. Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para pelopor antropologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai. Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importance), Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai pelopor positivisme dalam sosiologi  mengklaim bahwa ilmu yang digagasnya itu dapat memecahkan masalah.

Dari uraian diatas, mungkin bisa kita simpulkan bahwa peneliti itu harus bebas nilai mengenai obejek penelitiannya, tapi  muncul beberapa pertanyaan, apakah nilai-nilai tersebut memiliki batasan dalam kebebasannya? Apakah bebas nilai tersebut menafikan nilai-nilai dasar atau nilai hati nuranitentang baik dan buruk? Apakah konsep bebas nilai menafikan identitas?

ISI/PERMASALAHAN

A. Ilmu Antropologi Harus Melihat Unsur Historis

Dalam ilmu antropologi, konsep bebas nilai sangat erat kaitannya dengan Relativitas kebudayaan atau kenisbian kebudayaan dan konsep etnosentrisme. Relativitas kebudayaan adalah sebuah cara pandang atau perspektif bahwa setiap kebudayaan dan tradisi memiliki dimensinya sendiri tentang konsep baik dan buruk, dengan kata lain kebudayan kita tidak bisa diukur dengan kacamata kebudayaan orang lain, beda kacamatanya maka beda pula kebudayannya. Sedangkan etnosentrisme adalah paham dimana menganggap kebudayaannya lebih baik dari pada kebudayaan orang lain. Maka dari itu kita tidak bisa mengatakan bahwa sesuatu  semata-mata itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu. Atau ilmu itu tidak semata -mata teoritik, tapi juga terkandung kegunaan praktisnya.

Dalam hal ini antropologi tidak hanya terpaku pada ilmu teoritik saja, tapi juga bersifat praktis.Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan: ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis. Dalam ilmu alam yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang dilakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus. Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi.

                 Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan. Pertama, pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah amalam spesies manusia. Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan. Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. Dan yang kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Dengan kelima tesis ini Habermas menghujamkan kritikannya terhadap positivisme dan sainstisme. Artinya, ia mengkritik kenaifan ilmu pengetahuan yang bernafsu mencari teori murni yang bebas dari opini-opini subyektif, tendensi-tendensi, penilaian moral, dan kepentingan lainnya. Prinsip bebas nilai dalam ilmu pengetahuan itu menafikan adanya “historisisme” yang sangat menentukan bagaimana konstruksi atas pengetahuan itu. Jika dilihat menurut kacamata antropologi pengetahuan maka sesunggunya ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sangat terkait dengan konteks historis kemunculannya.

 Max Scheler dan Karl Mannheim, dari aliran sosiologi, menentang ide mengenai ilmu-ilmu sosial yang bebas nilai. Keduanya menyatakan bahwa pikiran, bahkan pikiran logis para ilmuan sekalipun, dibentuk secara historis dan itu, baik disadari atau tidak, sedang merefleksikan kebudayaan mereka sendiri dan perspektif sosial yang mereka adopsi. Seorang ilmuan memang harus mengatasi prasangka-prasangka mereka dengan memperbaiki kadar kualitas pembacaan mereka atas realitas, dengan berpangkal pada obyektivitas, tapi pada saat yang sama mereka harus mengklarifikasi asumsi-asumsi yang mendasar, memahami lokasi-lokasi sosial mereka sendiri dalam masyarakat, dan juga secara kritis mempertanyaan cita-cita sosial yang ada di masyarakat. Jadi, konstruksi berpikir seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, yang itu kemudian menuntut dirinya mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal ini dimaksudkan agar terbebas dari bias-bias emosional, afektif, dan pribadi, dengan mengunggulkan akal dan metodologi yang logis sebagai jalan menuju pencerahan. Pengetahuan yang dihasilkan seperti ini adalah akibat historis yang terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural dengan bangkitnya pemikiran Abad Pencerahan. Berkebalikan dari nuansa abad itu, Gadamer menegaskan kembali pentingnya tradisi dan prasangka dalam memahami segala sesuatu.

            Seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari batas-batas tradisinya. Tradisi sangat terkait dengan prasangka yang melatarbelakangi penafsiran kita atas realitas. Pentingnya tradisi dan prasangka ini menjadi upaya yang dilakukan oleh Gadamer dalam hermeneutikanya. Memahami (understanding) terkondisikan oleh masa lalu (“tradisi” kita) dan prasangka kita pada saat sekarang. Yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pentingnya tradisi sebagai sebuah faktor yang mengkondisikan dan menjaid batas yang jelas dalam cara-cara di mana orang menafsirkan teks. Dalam proses menafsirkan itu, menurut Gadamer, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan, dan agenda seseorang ke dalam teks. Dalam perspektif Gadamerian, “kebenaran” itu tidak pernah final, definitif atau obyektif, karena terkondisikan historisnya. Kata Gadamer, orang tidak dapat memahami sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Konsep penafsiran obyektif dan bebas nilai menjadi problematis untuk diterapkan secara pasti. Maka, ketika kita memahami teks maupun juga realitas, yang terjadi justru “relativisme”, bukan universalisme dan absolutisme kebenaran. Apa yang ingin diraih dalam netralitas nilai untuk mencapai obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu menjadi absurd.

                      Ada sebuah tafsiran mengenai nilai yang dilihat menurut kaca mata antropologi. Kita mungkin pernah mendengar pernyataan Max Weber, salah satu tokoh yang mengembangkan sosiologi, yang sampai pada kesimpulan bahwa sosiologi dan antropologi harus bersifat bebas-nilai. Memang, tafsiran Weber mengenai rasionalitas ada yang berorientasi pada nilai. Tapi, nilai apa yang dimaksud di sini? Seorang pengikut Weberian, Peter L. Berger, menyatakan bahwa hampir tidak mungkin bagi seseorang manusia berada tanpa suatu nilai apapun. Ia mengakui bahwa seorang ahli antropologi secara normal memang mempunyai banyak nilai, tapi dalam batas-batas kegiatannya sebagai seorang ahli antropologi hanya ada satu nilai fundamental, yaitu integritas ilmiah. Jadi, nilai yang dimaksud adalah integritas seorang antropolog dalam mencapai pengetahuan yang obyektif. Seorang antropolog dengan berbagai macam praduga dan subyektivitas yang mungkin muncul pada dirinya, maka dia harus mampu mencoba memahami dan mengendalikan kemencengan yang harus dihapuskan dalam karya-karyanya.

               Apakah dengan pernyataan Weber yang mengambil kesimpulan bahwa seorang antropologi dan sosiolog itu harus bebas nilai menafikan adanya historisitas sebuah kebenaran obyektif? Rasionalitas yang dibangun Weber ternyata secara konsisten bersifat historis, yaitu menempatkan diri di dalam makna suatu zaman di mana ilmu pengetahuan tidak mampu lagi menciptakan makna karena agama dan pengetahuan telah diceraikan.

B.   bebas nilai tidak menafikan nilai-nilai dasar

Di tengah memudarnya pesona modernitas dengan nihilisme makna, Weber masih berkeyakinan bahwa Tuhan dan nilai-nilai pemandu bisa untuk dipilih. Tuhan tidak mati, dan justru pengetahuan tidak bisa lagi menciptakan nilai-nilai mengenai diri kita sendiri, Maksud dari teori sosial Weber yang bersifat historis adalah karena pengetahuan yang dihasilkan dari modernitas --salah satu sisi historis peradaban pada Abda Pencerahan-- itu memiliki kekaburan makna maka kita kini sebaiknya menciptakan makna-makna baru dengan tidak menafikan peran nilai dan Tuhan (agama) sebagai pemandu.

Kita bisa saja mengatakan bahwa orang yang minum-minuman keras, berzina, kerja di clup, mencuri langsung salah karena terpengaruh oleh bebas konsep nilai, tapi apakah bebas nilai tersebut menafikan nilai-nilai dasar?

Menurut saya, bebas nilai sama sekali tidak menafikan nilai-nilai dasar, dan seharusnya ia menjunjung tinggi nilai-nilai dasar, bagaimana kita bisa menjelaskan bahwa mabuk-mabukan dijalanan, tawuran, bicara carut marut merupakan suatu kebaikan, silahkan cari konsep kebudayaan mana yang mengatakan bahwa membunuh antar sesama, berzina, dan mencuri itu perbuatan yang terpuji, mulia dan patut dicontoh. Memang dalam hal empirisme ilmu pengetahuan, kita tidak bisa langsung menghakimi bahwa itu adalah perbuatan yang salah, kita harus mengidentifikasi apa motif-motif seseorang atau indifidu melakukan hal tersebut. Bisa jadi dengan tujuan yang mulia, tapi dengan cara atau reaksi yang negative.


C.  Kebudayaan Sebagai Identitas dan pendekatan anti bebas nilai

Menurut Koentjaraningrat, Kebudayaan merupakan segala sesuatu yang ada melekat pada manusia baik  seperangkat ide, gagasan prilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dengan pola yang sama dimana diajarkan dari satu generasi kegenerasi lain memaluli cara belajar dan nilai dan normanya dijunjung tinggi oleh masyarakat tersebut.

Kebudayaan tersebut dijunjung tinggi dan menjadi status dan idetitas bagi individu, baik suku bangsa ataupun status-status lainnya. Maka dari itu pada hakikatnya manusia tidak bisa bebas nilai secara menyeluruh atau holistic, bisa dikatakan bahwa individu itu terikat bebas nilai hanya karena  sekedar etika ilmiah dalam mengkaji objek kajian.

Kita ketahui bersama bahwa pada masyarakat adat minangkabau ada norma yang mengatur bahwa  “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato adaik mamakai”, bisa kita analisis bahwa masyarakat kebudayaan dan adat minangkabau mengacu kepada nilai dan norma agama islam. Apa yang dianggap agama islam baik maka nilai-nilai kebudayaan minangkabau akan mengatakan hal yang sama dan sebaliknya. Maka berzina, minum-minuman keras, mencuri, memukul wajah, memukul orang tua itu merupakan perbuatan-perbuatan tercela walaupun ada motif-motif tertentu.

Memang kita tidak boleh bersifat etnosentrisme, tapi melaksanakan apa nilai-nilai yang baik di kebudayaan kita jauh lebih baik dari pada membandingkan satu nilai dengan kebudayaan lain, artinya walaupun tidak menganggap kebudayaan kita lebih baik dari pada kebudayaan orang lain, tapi menjalankan nilai yang baik dan meninggalkan nilai yang buruk adalah yang lebuh utama.

Siapapun kita, dari disiplin ilmu apapun kita, maka kita pasti punya identitas yang akan mebatasi sikap kita dengan hal atau keadaan tertentu karena pada hakikatnya kebudayaan adalah identitas manusia.

Kita mungkin tau dengan Tokoh antropologi yang sangat terkenal yaitu Brownislaw Malinowski. Ia mengadakan penelitian di kelulauan trobrian di ujung papua nugini, mungkin dengan penelitiannya ia bisa menganalisis dan menemukan struktur dan fungsi dari tiap-tiap peran dan status pada masyarakat trobrian, mungkin ia juga bisa menghasilkan buku yang luar biasa, tapi taukah kita bahwa semasa penelitiannya di pulau trobrian, di buku dairinya, ia juga menulis perbedaan-perbedaan antara kebudayaannya (barat) dengan kebudayaan objek penelitiannya itu sendiri, ia menulis tentang apa yang dilihatnya bahwa orang-orang trobrian itu jorok, tidak menjaga kebersihan dll yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ia dapati di amerika. Dan ternyata tokoh antropolog pun tidak bebas nilai.

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa holistiknya kita memandang sesuatu itu bebas nilai hanya sebatas kode etik dan etika ilmiah saja, karena bebas nilai adalah sebuah konsep yang seharusnya memiliki batas-batas tertentu agar kita memiliki tolak ukur tentang kebudayan kita sendiri.

Maka dari itu, siapapun kita, apapun jabatan kita, dari disiplin ilmu apapun kita berasal, kita pasti tidak bisa bebas nilai secara holistic karena setiap individu memiliki nilai-nilai dasar, aspek historis dan  identitas yang akan terus kita pertahankan dalam keadaan apapun yaitu kebudayaan. lebih extreme lagi, kita bisa mengatakan bahwa berlagak bebas nilai berarti menafikan identitas kita dan menafikan identitas berarti tidak mengakui kebudayaan kita sendiri.










0 comments:

Post a Comment

 
Advertise
300x250
Here

Ads by Seocips.com

About